Beruntunglah Orang Yang Dijauhkan Dari Fitnah
BERUNTUNGLAH ORANG YANG DIJAUHKAN DARI FITNAH
عَنْ الْمِقْدَادِ بْنِ الْأَسْوَدِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ ايْمُ اللَّهِ لَقَدْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ السَّعِيدَ لَمَنْ جُنِّبَ الْفِتَنَ إِنَّ السَّعِيدَ لَمَنْ جُنِّبَ الْفِتَنِ إِنَّ السَّعِيدَ لَمَنْ جُنِّبَ الْفِتَنُ وَلَمَنْ ابْتُلِيَ فَصَبَرَ فَوَاهًا
“Dari al Miqdad bin al Aswad Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Demi Allah! Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya orang yang berbahagia adalah orang yang dijauhkan dari fitnah. Sesungguhnya orang yang berbahagia adalah orang yang dijauhkan dari fitnah. Sesungguhnya orang yang berbahagia adalah orang yang dijauhkan dari fitnah. Dan barangsiapa yang mendapat ujian lalu bersabar, maka alangkah bagusnya”.
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab al Fitan wal Malahim, Bab Fi an-Nahyi ‘an as-Sa’yi fil Fitnah, no. 4263 (4/460). Hadits ini dishahihkan al Albani dalam al Misykah al Mashabih no. 5405, juga dalam Silsilah Ahadits ash-Shahihah no. 975 dan Shahih Sunan Abu Dawud no. 4263.
Syaikh al Albani berkata: “Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud (4263) dari al Laits bin Sa’ad dan Abul-Qasim al Hana’i dalam ats-Tsalits minal-Fawaa’id (1/82) dari ‘Abdullah bin Shalih. Kemudian Syaikh menyatakan: “Ini sanad yang shahih sesuai syarat Muslim”[1]
PERAWI HADITS
Al Miqdad bin al Aswad adalah al Miqdad bin Amru bin Tsa’labah al Kindi. Beliau dinasabkan kepada al Aswad bin Abduyaghuts az-Zuhri karena menjadi anak angkatnya. Beliau masuk Islam dan telah melakukan dua kali hijrah dan menikahi sepupu Rasulullah yang bernama Dhuba’ah bin az-Zubeir bin Abdul Muthalib.
Al Miqdad juga ikut dalam perang Badar dan perang-perang setelahnya, serta ikut dalam perang menaklukan Mesir. Beliau meninggal tahun 33 H dan dikuburkan di pemakaman al Baqiq, Madinah.[2]
SYARAH KOSA KATA
– الْفِتَنَ, maknanya fitnah.
– فَوَاهًا , merupakan ungkapan ta’ajjub (kagum). Maknanya, alangkah bagusnya kesabaran orang yang sabar ketika tertimpa fitnah[3]
PENJELASAN DAN FAIDAH HADITS
Dalam hadits yang mulia ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji dan menjelaskan kriteria orang yang berbahagia. Yaitu orang yang dijauhkan dari fitnah. Begitu pula seseorang yang mendapat ujian, namun ia tetap bersabar, maka ia akan mendapat kebahagiaan.
Bagaimana cara mendapatkan kebahagian tersebut? Bagaimana pula agar dapat dijauhkan dan selamat dari fitnah?
1. Bertakwa dan selalu menjaga ketakwaan kepada Allah, dalam segala keadaan dan kondisi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا﴿٢﴾وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”. [ath-Thalaq/65:2-3].
Maknanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan jalan keluar dari seluruh fitnah, bencana, kejelekan di dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”. [ath-Thalaq/65:4].
Ketika terjadi fitnah pada zaman tabi’in, sebagian orang mendatangi Thalq bin Habib dan mengatakan, bahwasanya telah terjadi fitnah, lantas bagaimana menyelesaikannya?
Beliau menjawab: “Berlindunglah darinya dengan takwa!”
Mereka bertanya: “Jelaskan kepada kami, apa yang engkau maksud dengan takwa?”
Beliau menjawab,”Takwa kepada Allah, yaitu mengamalkan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah dan mengharap rahmat-Nya, dan meninggalkan kemaksiatan di atas cahaya dari Allah dan takut dari adzab-Nya”[Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Abi Dunya][4]
Syaikh Abdurrazaq al Abad berkata,”Dengan demikian menjadi jelas, bahwa takwa tidak semata kata-kata yang diucapkan seseorang dengan lisannya, atau (sekadar) pengakuan yang disampaikan seseorang. Sebenarnya takwa merupakan kesungguhan dan ijtihad, serta membimbing jiwa untuk taat dan mendekatkan diri kepada Alla, (yaitu) dengan amalan yang diridhai oleh-Nya. (Takwa), juga (dengan) menjauhi kemaksiatan dan kemungkaran. Barangsiapa yang memilikinya, maka ia –insya Allah– mendapatkan balasan dan akhir yang baik”[5]
2. Komitmen, konsisten dan berpegang teguh kepada al Qur`an dan as-Sunnah, serta berjalan di atas manhaj Salafush-Shalih[6]. Karena berpegang teguh kepada al Kitab dan as-Sunnah merupakan jalan mencapai kejayaan, keselamatan dan kemenangan di dunia maupun akhirat.
Imam Malik telah berkata: “Sunnah Nabi adalah perahu Nabi Nuh. Barangsiapa yang menaikinya, maka selamat. Dan (sebaliknya), barangsiapa yang meninggalkannya, maka (ia akan) binasa dan tenggelam”.[7]
Telah dijelaskan oleh Rasulullah dalam hadits al ‘Irbadh bin Sariyah, yang berbunyi:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Karena sesungguhnya, barangsiapa yang hidup setelahku dari kalian, maka (ia) akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk konsisten dengan sunnahku dan Sunnah para penggantiku yang berilmu dan beramal (Khulafa’ al Mahdiyyin al Rasyidin). Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham. Berhati-hatilah terhadap perkara baru yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap yang baru diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat”. [HR Abu Dawud, at-Tirmidzi dan selainnya]
Syaikh Abdurrazaq al ‘Abad berkata,”‘Keselamatan ketika terjadi perselisihan dan selamat dari fitnah hanya bisa didapatkan dengan berpegang teguh kepada Sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, menjauhi hawa nafsu, perbuatan bi’dah, dan berhukum dengan Sunnah pada dirinya dalam perkara yang ia lakukan dan yang ia tinggalkan, baik berupa gerakan, diam, tegak, duduk dan (dalam) seluruh sisi kehidupannya. Barangsiapa yang dalam keadaaan demikian, maka insya Allah akan terlindungi dan terjaga dari seluruh kejelekan, bencana dan fitnah. Sedangkan seseorang yang membiarkan dirinya bebas dan membiarkan hawa nafsunya menjadi pengendali dirinya, maka ia telah menjerumuskan dirinya dan orang lain dari kalangan hamba Allah ke dalam kejelekan”[8]
3. Lemah-lembut, tenang, tidak tergesa-gesa dan memikirkan akibat yang bakal muncul dari semua yang dilakukannya. Karena perbuatan yang tergesa-gesa tidak membawa kebaikan. Adapun pada sikap perlahan terdapat kebaikan dan barakah. Barangsiapa yang tergesa-gesa dalam urusannya dan sembarangan dalam perilakunya, maka tidak mustahil dia dapat tergelinciran dan terjerumus dalam penyimpangan. Sedangkan orang yang lemah-lembut, sabar dan menjauhkan dari sikap tergesa-gesa, ngawur dan nekad serta selalu memperhitungkan akibat perbuatannya, maka ia insya Allah akan mengantarkannya kepada hasil yang membuatnya bahagia di dunia dan akhirat.
Sahabat yang mulia Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata: “Akan muncul perkara musytabihat (samar-samar), maka kalian harus berlaku pelan-pelan. Karena, kamu menjadi pengikut dalam kebaikan, (itu) lebih baik dari pada menjadi pemimpin dalam kejelekan”[9]
Sesungguhnya, seseorang yang mengatasi permasalahan secara tergesa-gesa dan sama sekali tidak mengambil cara perlahan, (berarti ia telah) membuka pintu kelejelekan untuk dirinya dan orang lain, dan (ia) bertanggung jawab atas dosanya dan menuai hasil buruk. Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
إِنَّ مِنْ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلْخَيْرِ مَغَالِيقَ لِلشَّرِّ وَإِنَّ مِنْ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلشَّرِّ مَغَالِيقَ لِلْخَيْرِ فَطُوبَى لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الْخَيْرِ عَلَى يَدَيْهِ وَوَيْلٌ لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الشَّرِّ عَلَى يَدَيْهِ
“Sesungguhnya ada di antara manusia yang menjadi kunci kebaikan dan penutup kejelekan. Dan sesungguhnya, ada di antara manusia yang menjadi kunci pembuka kejelekan dan penutup kebaikan. Maka beruntunglah seseorang yang dijadikan oleh Allah sebagai kunci pembuka kebaikan melalui tangannya, dan celakalah seseorang yang Allah jadikan kunci pembuka kejelekan melalui tangannya”.[HR Ibnu Majah]
Seorang yang berakal, ia akan senantiasa berhati-hati, melihat jauh (akibat) ke depan, sabar, lembut dan perlahan, serta menjauhi dari berbuat sembrono, tergesa-gesa dan nekad. Karena ketergesaan, nekad dan sikap sembrono, hanya akan mengakibatkan keburukan dan bahaya, serta hasil yang jelek.[10]
4. Bersatu dan konsisten bersama jama’ah muslimin dan imam mereka, serta menjauhi perpecahan dan perselisihan. Karena, perpecahan adalah jelek, adapun berjama’ah merupakan rahmat. Dengan berjama’ah, ia menghasilkan kekuatan yang besar pada kaum Muslimin, kuat ikatan persaudaraan, kuat kewibawaan dan terwujudnya persatuan di kalangan kaum Muslimin. Juga dengan berjama’ah, akan terwujud sikap saling kerjasama di antara kaum Muslimin dalam kebaikan dan takwa, serta perkara-perkara lainnya yang dapat mewujudkan kebahagian di dunia maupun akhirat. Sedangkan perselisihan, mengantarkan kaum Muslimin kepada banyak kejelekan, bahaya yang banyak dan bencana yang tidak diharapkan. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat, agar kaum Muslimin konsisten bersama jama’ah dan memperingatkannya dari perpecahan. Di antaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
“Jama’ah itu rahmat, dan perpecahan itu adzab”[11].
Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لَا تَخْتَلِفُوا فَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اخْتَلَفُوا فَهَلَكُوا
“Janganlah berselisih, karena orang-orang sebelum kalian berselisih, lalu binasa” [HR al-Bukhari]
Demikian juga, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepada kaum Muslimin untuk bersatu dan konsisten dengan jama’ah kaum muslimin dan imam (pemimpin) mereka, sebagaimana dijelaskan dalam hadits al Irbadh bin Sariyah, yang berbunyi:
صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا فَقَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا
“Rasulullah mengimami kami shalat pada suatu hari, kemudian beliau menghadap kami dan memberikan nasihat yang menyentuh; membuat mata meneteskan air mata dan hati bergetar. Maka seseorang berkata: “Wahai Rasulullah! Seakan-akan nasihat ini merupakan nasihat perpisahan. Maka apa yang engkau wasiatkan kepada kami?” Beliau bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah dan mendengar dan patuh, walaupun (yang memimpin kalian) adalah budak habasyi”. [HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi, dan selainnya].
Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan sebab-sebab kebahagian dunia dan akhirat dalam dua perkara, yang tidak ada ketiganya, yaitu:
Pertama, konsisten dalam ketakwaan.
Kedua, konsisten berpegang teguh kepada jama’ah kaum Muslimin dan mentaati imam kaum Muslimin.
Dua ketentuan pokok ini merupakan prinsip Salafush-Shalih yang harus dilaksanakan. Dua prinsip ini menjadi sebagian pelindung kita dari fitnah –dengan idzin Allah– dan inilah jalan mewujudkan persatuan, ketika terjadi perpecahan.[12]
5. Mengambil ilmu dan fatwa dari ulama besar dan tidak mengambil dari orang-orang kerdil yang baru menimba ilmu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
البِرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِهِمْ
“Barakah ada bersama tokoh-tokoh besar mereka”.[13]
Barakah ada bersama tokoh-tokoh besar mereka yang telah menguasai ilmu dan telah lama menuntutnya. Mereka memiliki kedudukan di tengah-tengah umat disebabkan oleh ilmu, hikmah yang luhur, sikap perlahan dan pandangan jauh mereka ke depan yang Allah karuniakan kepada mereka. Kita diperintahkan mengambil ilmu dan fatwa dari mereka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ ۖ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَىٰ أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ ۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)”.[an-Nisaa`/4:83].
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di, dalam menafsirkan ayat ini, beliau mengatakan: “Ini merupakan pelajaran dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hambaNya atas perbuatan mereka yang tidak pantas. Seharusnya, bila mereka mendapatkan perkara penting atau kemaslahatan umum yang berhubungan dengan keamanan dan kebahagian kaum Mukminin atau kekhawatiran yang menjadi musibah bagi mereka, hendaknya melakukan klarifikasi dan tidak tergesa-gesa menyebarkan berita tersebut. Seharusnya mereka mengembalikan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Ulil Amri mereka, yaitu para ulama yang mengetahui permasalahan dan mengetahui kemaslahatan serta madharatnya (bagi masyarakat)”[14]
Imam al Ashbahani menegaskan pentingnya hal ini, sebagaimana pernyataan beliau: “Barangsiapa yang melihatnya secara adil, niscaya (akan) mengetahui tidak ada seorang pun yang paling jelek madzhabnya dari orang yang meninggalkan firman Allah, sabda Rasulullah, pendapat para sahabat dan pendapat para ulama dan ahli fiqih setelah mereka (sahabat) dari mereka yang membangun madzhab dan agamanya di atas Kitabullah (al Qur`an) dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mengikuti orang yang tidak ‘alim terdahap al Qur`an dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana ia merasa aman tidak menjadi pengikut setan”[15]
Barangsiapa yang merujuk dan menyerahkan kepada mereka, maka ia aman dari fitnah dan akan mendapatkan kebaikan.
6. Memperbaiki hubungan dengan Allah dan berdoa kepada-Nya, karena doa merupakan kunci semua kebaikan di dunia maupun akhirat. Begitu halnya dengan meminta kepada Allah untuk menjauhkan kaum Muslimin dari fitnah, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Juga meminta perlindungan kepadaNya dari fitnah yang besar. Karena, siapa pun yang memohon perlindungan kepada Allah, niscaya Dia melindunginya. Dan siapa pun yang memohon kepada Allah, niscaya Dia memberinya. Allah tidak akan membiarkan seorang hamba berdo’a tanpa hasil. Allah tidak akan menolak seorang hamba yang memanggilNya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. [al Baqarah/2:186]
Di antara yang menjadi penyebab fitnah, yaitu munculnya kesyirikan dan kemaksiatan. Sehingga, ketika muncul fitnah, semestinya kita kembali bertaubat dan memanjatkan doa kepada Allah untuk menghilangkannya.
Imam al Hasan al Bashri pernah menyatakan, sesungguhnya al Hajjaj adalah adzab Allah. Maka janganlah menolak adzab Allah dengan tangan-tangan kalian, namun hendaklah kalian beribadah dan memanjatkan doa dengan kerendahan diri, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ أَخَذْنَاهُمْ بِالْعَذَابِ فَمَا اسْتَكَانُوا لِرَبِّهِمْ وَمَا يَتَضَرَّعُونَ
“Dan sesungguhnya Kami telah pernah menimpakan azab kepada mereka, maka mereka tidak tunduk kepada Rabb mereka, dan (juga) tidak memohon (kepada-Nya) dengan merendahkan diri”. [al Mu’minun/23:76].[16]
Hendaknya memperbanyak do’a kepada Allah agar dihilangkan fitnah yang ada sebagaimana dilakukan kaum nabi Yunus yang Allah ceritakan dalam firmanNya:
إِنَّ الَّذِينَ حَقَّتْ عَلَيْهِمْ كَلِمَتُ رَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ﴿٩٦﴾وَلَوْ جَاءَتْهُمْ كُلُّ آيَةٍ حَتَّىٰ يَرَوُا الْعَذَابَ الْأَلِيمَ﴿٩٧﴾فَلَوْلَا كَانَتْ قَرْيَةٌ آمَنَتْ فَنَفَعَهَا إِيمَانُهَا إِلَّا قَوْمَ يُونُسَ لَمَّا آمَنُوا كَشَفْنَا عَنْهُمْ عَذَابَ الْخِزْيِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَتَّعْنَاهُمْ إِلَىٰ حِينٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat Rabbmu, tidaklah akan beriman, meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan, hingga mereka menyaksikan adzab yang pedih. Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? Tatkala mereka (kaum Yunus itu), beriman, Kami hilangkan dari mereka adzab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai kepada waktu yang tertentu”. [Yunus/10: 96-98].
Dalam penafsirannya terhadap ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: “Yang dimaksud, tidak ada satu (penduduk) satu kota yang beriman seluruhnya kepada nabi mereka dari (penduduk ) satu kota terdahulu kecuali kaum Nabi Yunus, iman mereka hanya karena takut datangnya adzab yang telah diperingatkan oleh rasul mereka, setelah mereka mengerjakan sebab-sebabnya (adzab), dan rasul mereka (Yunus) pergi meninggalkan mereka. Lalu ketika itu mereka berdoa dengan sepenuh hati kepada Allah, memohon pertolongan, merendahkan diri dan tunduk, serta mengeluarkan anak-anak, binatang ternak dan gembalaan mereka, dan memohon kepada Allah untuk menolak adzab yang telah diperingatkan nabi mereka. Seketika itu, Allah merahmati mereka dan menghilangkan adzab atas mereka, dan mengakhirkan mereka”[17].
Demikianlah di antara perkara yang harus diperhatikan seseorang, agar terhindar dari fitnah. Semoga Allah menjauhkan kita dari fitnah, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.
Wallahu a’lam.
MARAJI:
1. Tafsir Ibnu Katsir, Cetakan Pertama, Tahun 1413H, Maktabah al ‘Ulum wal-Hikaam, Madinah.
2. Silsilah al Ahadits ash-Shahihah.
3. Asbab al Wiqayah minal-Fitan, Syaikh Abdullah al ‘Ubailan dalam Majalah Ummati, Kuwait, Edisi 16, Desember 2005-Dzul Qa’dah 1426H.
4. Majalah Ummati, Kuwait, Edisi 10, Mei 2005-Rabi’ul Awwal 1426H.
5. Al Fitnah wa Mauqif al Muslim Minha, Dr. Muhammad bin Abdulwahab al ‘Aqil.
6. Taisir al Karimirrahman.
7. Al Hujjah fi Bayan al Mahajjah, Ismail bin Muhammad al Ashbahani, tahqiq Muhammad bin Rabi’ al Madkhali, Cetakan Pertama, Tahun 1411H, Dar ar-Rayah, Riyadh.
8. Sunan Abu Dawud.
9. A’unul Ma’bud Syarah Sunan Abu Dawud.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun X/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Silsilah al Ahadits ash-Shahihah (2/703)
[2] Tambih al Afham bi Syarhi Umdatul-Ahkam, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin (1/66).
[3] Lihat ‘Aunul-Ma’bud Syarah Sunan Abu Dawud
[4] Majalah Ummati, Kuwait, Edisi 10, Mei 2005-Rabiul Awwal 1426H, hlm.18.
[5] Majalah Ummati, Kuwait, Edisi 10, Mei 2005-Rabiul Awwal 1426H, hlm.18.
[6] Makalah Asbab al Wiqayah minal Fitan, Syaikh Abdullah al ‘Ubailan dalam Majalah Ummati, Kuwait, Edisi 16, Desember 2005-Dzul Qa’dah 1426H, hlm.6
[7] Majalah Ummati, Kuwait, Edisi 10, Mei 2005-Rabiul Awwal 1426H, hlm.18
[8] Majalah Ummati, Kuwait, Edisi 10, Mei 2005-Rabiul Awwal 1426H, hlm.18
[9] Majalah Ummati, Kuwait, Edisi 10, Mei 2005-Rabiul Awwal 1426H, hlm.18
10] Syaikh Abdurrazaq bin Abdil Muhsin al ‘Abad dalam Majalah Ummati, Kuwait, Edisi 10, Mei 2005-Rabiul Awwal 1426H, hlm.18.
[11] HR Ahmad, dan Syaikh al Albani dalam Shahihul-Jaami’, no. 3109 mengatakan, hadits ini hasan.
[12] Al Fitnah wa Mauqif al Muslim Minha, Dr. Muhammad bin Abdul Wahab al ‘Aqil, hlm. 100-101
[13] HR. Ibnu Hiban, al Hakim, Abu Nu’aim, dan al Baihaqi dalam Syu’abul-Iman. Syaikh al Albani menyatakan hadits ini shahih dalam Shahihul-Jami’ no. 2884, Silsilah al Ahadits ash-Shahihah no.1778 (4/380)
[14] Taisiril-Karimir-Rahman.
[15] Al Hujjah fi Bayan al Mahajjah (1/311).
[16] Lihat makalah Asbab al Wiqayah minal Fitan, Syaikh Abdullah al ‘Ubailan menukil dari perkataan Ibnu Taimiyyah.
[17] Tafsir Ibnu Katsir (2/414).
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/11867-beruntunglah-orang-yang-dijauhkan-dari-fitnah-2.html